Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN,
Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan
ketetapan-Nya. (Ul. 8:11)
Alexandr Solzhenitsyn - seorang novelis peraih penghargaan
Nobel Sastra, yg pernah dikirim ke camp pengasingan karena kritikannya
yg pedas kepada pemerintahan Joseph Stalin, mengungkapkan bahwa ia
belajar berdoa di sebuah kamp konsentrasi di Siberia saat ia tidak ada
lagi harapan. Sebelum ia ditangkap .. ketika segala sesuatu berjalan
baik-baik saja, ia jarang memikirkan tentang Allah.
Demikian halnya dg bangsa Israel. Mereka mempelajari
kebiasaan u/ bergantung kpd Allah di tengah padang gurun Sinai, tempat
yg tidak memberi mereka pilihan lain. Mereka membutuhkan campur tangan
dari-Nya setiap hari hanya u/ urusan makan dan minum. Namun, ketika
akhirnya mereka sampai di tepi sungai Yordan, mereka menghadapi
pencobaan yg lebih berat u/ iman mereka (Setelah memasuki tanah yg penuh
kelimpahan, apakah mereka akan segera melupakan Allah?)
Dikarenakan lama hidup di gurun, bangsa Israel tidak
mengetahui banyak tentang godaan dari budaya-budaya lain. Musa lebih
khawatir pada datangnya kelimpahan daripada kerasnya kehidupan di gurun
- sensualitas yg menggoda, agama-agama yg eksotis, dan kekayaan yg
gemerlap. Bangsa Israel dapat saja melupakan Allah dan memuji diri
sendiri atas kesuksesan mereka (Ul. 8:11,17).
Ironis, saat kesuksesan membuat kita lebih sulit bergantung
kepada Tuhan. Bangsa Israel terbukti menjadi kurang setia setelah
mereka masuk ke Tanah Perjanjian. Berulang kali mereka memalingkan hati
kepada ilah-ilah lain.
Kita patut waspada terhadap godaan yg menyertai kesuksesan. Ada bahaya yg mematikan saat kita mendapat apa yg kita inginkan.
Kesuksesan tanpa Allah jauh lebih menghancurkan daripada kegagalan terburuk sekalipun.
Selamat pagi, Tuhan Yesus memberkati :)
0 comments:
Post a Comment